[Beropini] Fenomena Gunung Es COVID-19 di Indonesia
Data pasien
menunjukkan pasien positif COVID-19 di Indonesia menunjukkan perlonjakan per 17 Maret
2020. Pasien positif virus ini naik menjadi 172 orang.
Menurut saya,
ini seperti fenomena gunung es yang dalam beberapa hari ke depan akan semakin tinggi
lonjakannya, dan berpotensi membuat panik sebagian besar orang di Indonesia. Maka
sebelum kepanikan kian menyebar, mari kita lihat salah satu kemungkinan yang bisa
terjadi.
Presentasi klinik penyakit COVID-19 sangat bervariasi, mulai dari tidak memiliki gejala (asimtomatis) sampai pneumonia akut hingga kematian (CDC, 2020). Penyakit ini
memiliki masa inkubasi pada rentang 2-14 hari. Maka, sebelum timbul gejala, virus
SARS-CoV-2 sebenarnya sudah ada di dalam tubuh orang yang positif COVID-19 dan
berpotensi untuk menularkan kepada orang lain. Mari kita bayangkan, orang yang
sebenarnya positif COVID-19 namun belum memiliki gejala ini pastinya tidak merasa
dia sakit, karena memang belum timbul gejala. Dia dengan leluasa, terlepas dari
adanya self-quarantine, berkomunikasi dengan orang lain, minimal
keluarganya, teman-teman kerjanya (bila tidak work from home) atau
teman-teman kosnya. Pada poin ini, mari kita bayangkan kalau satu keluarga
sudah tertular. Salah satu dari anggota keluarga yang sudah tertular akan
mencoba membeli keperluan rumah untuk kebutuhan self-quarantine di
rumahnya di mini market/ super-market/ pasar. Pada saat ini mungkin mereka akan
menularkan ke orang-orang yang ditemuinya selama perjalanan kesana. Maka ada
kemungkinan besar orang-orang di pasar atau mini market sudah tertular, dan pedagang
yang sudah tertular berpotensi untuk menularkan lagi mereka yang sehat yang
pergi ke mini market/ super market untuk membeli kebutuhan self-quarantine.
Kalau polanya seperti ini, bisa dibayangkan berapa banyak keluarga yang
sebenarnya sudah positif COVID-19? Dan berapa banyak keluarga yang masih merasa
kalau dirinya sehat, padahal sebenarnya positif? Bukankah keluarga ini hanya
akan menunggu meledaknya gejala mereka menjadi semakin parah? Akan berapa lama
sampai ini terjadi?!
Kemungkinan lain
adalah dari mereka yang tidak bisa work from home (wfh), seperti di pabrik-pabrik
produsen. Saya mengerti kalau perusahaan seperti ini tidak mungkin menerapkan wfh,
karena siapa lagi yang akan menggerakkan mesin-mesin produksi kalau bukan
manusia. Kita bukan negara yang produktivitasnya sudah digantikan dengan robot seperti
negara Jepang atau Jerman, dan masih sangat mengandalkan operasional manusia. Terlepas
dari segala prosedur yang telah dilakukan perusahaan untuk mengurangi
penyebaran, kemungkinan untuk menyebarkan ke orang lain tetap ada, misalnya dari
perjalanan pergi dan pulang kerja.
Sebenarnya saya
tidak ingin memikirkan kemungkinan ini, namun melihat peningkatannya, pola aktivitas
masyarakat yang masih bandel dalam hal self-quarantine, sulitnya work
from home, dan masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk memeriksakan diri
bila sakit, saya pikir kemungkinan fenomena gunung es itu adalah hal yang
sangat logis. Hal ini diperparah dengan cara diagnosis COVID-19 di Indonesia
yang dirasa belum tepat. Rumah sakit hanya mendeteksi pasien yang ada gejala
tertentu, padahal seperti yang saya katakan tadi, hampir sebagian besar pasien
tidak mengalami gejala. Kita dapat belajar dari Itali, dimana setiap harinya
ratusan orang meninggal karena virus ini. Kenapa ini bisa terjadi? Salah satunya
adalah karena tidak melakukan deteksi dini dari awal, sehingga penyebaran
terlanjur menjadi sangat massif dan tenaga kesehatan kewalahan menangani
membludaknya pasien. Saya berharap ini tidak menjadi masa depan kita.
Terkait dengan
perlunya lockdown atau tidak, saya secara pribadi tidak setuju dengan
adanya lockdown, karena berbagai kerugian dapat terjadi bila hal tersebut
dilakukan, serta sebenarnya lockdown tidak perlu dilakukan apabila semua
orang dengan disiplin menerapkan self-quarantine. Terlepas dari semua great
hard work yang telah pemerintah dan masyarakat lakukan -dan perlu tetap
terus dilakukan tentunya-, ada dua hal yang perlu di-highlight yaitu pentingnya deteksi sedini mungkin
semua orang tanpa gejala dan sesegera mungkin karantina yang positif.
Dua hal ini adalah kunci penting berhentinya penularan COVID-19. Terkait dengan
karantina, saya pikir tidak perlulah kita mengkarantina semua pasien positif di
rumah sakit, karena itu akan membuat RS kehabisan kapasitas untuk merawat yang
kritis. Perlu dipilih mana yang perlu dikarantina di rumah sakit dan mana yang perlu dikarantina di rumah saja. Untuk
yang dikarantina di rumah, perlu adanya kesadaran dan pemahaman untuk self-quarantine,
serta pemahaman mengenai SOP kasus darurat.
Terkait dengan
deteksi, menurut saya deteksi
COVID-19 pada orang dengan gejala adalah sangat terlambat, karena
mungkin sebenarnya virus tersebut sudah mendekam di tubuh orang itu selama ~14
hari, sudah menularkan ke banyak orang, dan karena sudah lama di tubuh maka sangat
memungkinkan mengalami perburukan dengan cepat. Pada poin ini, adanya alat deteksi COVID-19 yang cepat
dan akurat sangat dibutuhkan untuk bisa deteksi masal sesegera
mungkin. Kita dapat belajar dari Korea yang memiliki tingkat kematian terendah
karena virus ini. Di Korea, setiap harinya lebih dari 20,000 orang di tes COVID-19 dengan hasil yang dapat diketahui di hari itu juga. Hal ini menguntungkan karena semakin cepat mengetahui berapa banyaknya
pasien positif dan karakteristik pasiennya, akan semakin mudah memitigasinya.
Kalau dirasa mahal, mungkinkah untuk membuat alat pendeteksi sendiri? Saya pikir
sangat mungkin dilakukan di Indonesia. Kita bisa melihat ke tetangga kita Vietnam
yang sudah bisa memproduksi sendiri test kit untuk COVID-19 untuk
keperluan lokal mereka. Di sini perguruan tinggi dapat bekerja sama dengan
perusahaan dan BPOM untuk keperluan pembuatan dan registrasinya.
Akhir kata, saya
berharap penyebaran COVID-19 di Indonesia cepat berhenti dan tidak menjadi
buruk dari hari ke hari. Mari belajar pada negara-negara lain yang sudah lebih dahulu
menangani hal ini dan memberi hasil yang baik seperti China dan Korea, serta
mencegah agar tidak mengulangi kesalahan yang sama seperti Itali dan Iran.
SUMBER:
https://www.ecdc.europa.eu/sites/default/files/documents/RRA-sixth-update-Outbreak-of-novel-coronavirus-disease-2019-COVID-19.pdf
Very true.
BalasHapus